Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Cerpen Aksa dan Amerta

Cerpen
Cerpen Aksa dan Amerta

AKSA DAN AMERTA

Haikal berjalan mendekati Chana-adiknya yang kini berada di tepi kolam renang, matahari sebentar lagi akan terbenam dan anak itu baru saja selesai berenang.

“Nih,” ucap Haikal menyerahkan segelas lemon tea hangat ke arah adik semata wayangnya yang di terima oleh pemuda jangkung itu dengan senyuman. Yang orang bilang tentang bahwa adik pasti jauh lebih tinggi dari kakaknya itu benar adanya, Chanakya jauh lebih tinggi dari Haikala walau hanya sedikit. “Makasih kak.” Ucap Chana.

Haikal terkekeh pelan lalu mengangguk, “Gimana sekolahnya? Lancar?” Tanya Haikal sambil menatap matahari yang perlahan mulai tenggelam. Ia ikut menikmati segelas lemon tea yang baru saja dibuatnya.

Chana tersenyum, ia menoleh menatap sang kakak dengan pandangan kagum, menatap penuh rasa sayang seolah takan ada lagi hari esok.

“Lancar kok, kakak sendiri gimana ngampusnya? Bentar lagi udah mau skripsian tau kak.” Ucap Chana pada kakak satu-satunya, mendengar itu Haikal lantas tertawa. 
 
“Kamu itu mah dek, kakak masih 2 semester lagi, kamu tinggal 1 semester lagi, udah nemuin kampus yang kamu pengenin belum? Mau ambil jurusan apa?” tanya Haikal pada adiknya. 

“Aku mah pinter kak, masuk kemana aja bisa,” ucap Chana dengan wajah tengilnya, Haikal mendengus mendengar penuturan sombong adiknya. 

“Iya deh, pinter. Udah yuk masuk, udah maghrib ini.” Ucap Haikal sambil bangkit untuk mengambil handuk dan berjalan masuk ke rumah di ikuti oleh Chana. 

“Kak, makan apa kita malam ini?” tanya Chana saat sang kakak akan memasuki kamar. Haikal berhenti sejenak untuk berpikir menu makan malam ini. 

“Ada ayam goreng sama nugget, kamu mau sayur kangkung? Nanti kakak buatin.” Ucap Haikal dibalas anggukan semangat Chana si pecinta kangkung. 

“Okeyy kakak!” setelah itu, lelaki kelas 12 hilang di balik pintu, Haikal hanya tersenyum geli melihatnya.

 ***
 
Haikal adalah mahasiswa semester 5 yang sedang disibukan dengan berbagai tugas dan praktikum, dibelakangnya ada pula Chanakya yang disibukan dengan ujian kelulusan yang akan di adakan sebentar lagi, baik Chana maupun Haikal berusaha untuk menghasilkan yang terbaik.

Haikal baru pulang dari kampus setelah menghadiri rapat organisasi, ia menemukan Chanakya tengah belajar di living room beralasan karpet bulu, melihat itu Haikal mau tak mau tersenyum.

“Assalamu’alaikum,” salam Haikal saat melihat Chanakya yang nampaknya tak menyadari keberadaannya, selang beberapa detik barulah Chanakya menyahut salam kakaknya.

“Waalaikumsalam, tumben pulang sore kak?” tanya Chana yang masih sibuk menyoret-nyoret buku menggunakan pulpennya, membuat pola abstrak.

“Ada rapat dulu tadi, kamu kenapa?” tanya Haikal, jelas ia menyadari ada yang aneh dengan sang adik terlihat dengan bagaimana jari lentik itu membuat pola abstrak di bukunya.

Chana menggeleng, enggan menatap sang kakak yang kini telah duduk di hadapannya.

“Adek ga mau cerita sama kakak? Ada apa? Ada sesuatu yang terjadi di sekolah?” tanya Haikal lagi, ia membiarkan adiknya diam untuk beberapa saat.

Perlahan Chana mengangkat kepalanya menatap Haikal dengan pandangan sedihnya, bibirnya melengkung ke bawah diikuti dengan matanya yang berkaca-kaca. Haikal yang melihat itu lantas panik dengan reflek mendekati diri dan menarik Chanakya ke dalam pelukan.

“Kok nangis? Ada apa?” tanya Haikal, namun tak mendapat balasan dari adiknya, hanya suara tangis yang terdengar, Haikal membiarkan sang adik menangis untuk beberapa saat. Setelah hampir 10 menit Chanakya menangis, sekarang tangisannya sudah reda dan mau untuk berbicara meskipun sedikit-sedikit.

“Nilai matematika adek turun, padahal adek udah yakin, adek udah belajar semaleman. Adek ngerasa usaha adek sia-sia kalo yang didapetin jauh dari kata sempurna.” Ucap Chana pelan, ia masih menunduk tak berani menatap Haikal yang kini juga masih menatapnya.

“Adek beneran kakak... Adek udah belajar sebelum ujian, tapi nilai adek malah dapet 60.” Ucap Chana yang kembali meneteskan air matanya, ia menyerahkan selembar kertas ujian yang di pojok kanan atas tercoret angka 60 bertinta merah. Haikal tertawa pelan lalu meletakan kertas itu di atas karpet kemudian menatap Chana dengan lembut.

“Adek, yang namanya sempurna itu gak ada. Di dunia ini, gak ada yang sempurna, cuman Allah yang sempurna, sehebat apapun seseorang, sepintar apapun seseorang pasti ada kurangnya, gak ada yang bener-bener sempurna. Kalo adek menggambar sebagus apapun, pasti gak ada yang dapet 100, kenapa? Karena benar-benar sempurna itu gak ada.” Ujar Haikal, ia mengusap rambut adiknya dengan lembut.

“Gapapa gagal, gagal sekali bukan berati kamu gagal selamanya, itu tandanya kamu harus lebih berusaha lagi untuk mendapatkan apa yang kamu mau. Kegagalan bukan alasan untuk kamu berhenti, akan selalu ada keberhasilan di dalamnya, gak ada yang sia-sia dari perjuangan kamu, semuanya hanya butuh proses. Paham?” jelas Haikal panjang lebar, yang dibalas anggukan oleh Chana.

“Paham kakak.” Balas Chana lirih, ia masih merasa sedih akan nilai yang didapatnya.

“Gapapa, nanti belajar lagi ya? Sekarang yang harus Chana lakuin apa?” tanya Haikal.

“Belajar lebih giat lagi.” Balas Chana buat Haikal tersenyum.

“Pinter, nih kakak bawain MCD, sekarang makan dulu abis itu kita belajar bareng. Kakak mau mandi dulu, gerah.”

***

Seharusnya hari ini Haikal datang untuk menjemput Chanakya di sekolah, namun jadwal kelasnya berubah yang harusnya pukul 15.00 sudah selesai berganti jadi pukul 15.00 baru mulai. Oleh karena itu Haikal mulai membuka ponselnya untuk mengirimkan pesan singkat untuk adiknya, mengatakan bahwa ia tak bisa menjemput untuk hari ini dan digantikan dengan driver ojek online yang akan datang menjemput.

Setelah mengirim pesan dan menerima balasan Haikal berjalan menuju kelasnya sebelum 20 menit lagi dimulai. Pukul 17.00 sore Haikal baru selesai dan bersiap untuk pulang, jalanan cukup macet mengingat jam segini jam-jam pulang kerja dan pulang beraktivitas. Sesekali bibirnya bersenandung menyanyikan lirik yang sama dari lagu yang diputar.

Haikal melirik jam di pergelangan tangannya, pukul 17.28 ia berniat membeli makan saja untuk dirinya dan adiknya, agar tidak usah masak lagi karena Haikal cukup lelah hari ini. Jalanan mulai senggang saat ponsel yang berada dalam tasnya berdering, belum sempat Haikal meraih benda pipih itu bunyi klakson yang kencang dari arah belakang mengejutkannya. Tak sempat untuk menghindar, mobil miliknya ditabrak dari arah belakang hingga ia menabrak pembatas jalan.

Sayup-sayup Haikal melihat bayangan Chanakya yang tersenyum ke arahnya sebelum gelap melingkup.

***

Pertama kali mata itu terbuka, hal yang pertama dilihat adalah ruangan serba putih dengan bau obat yang khas, Haikal nampak ling-lung untuk beberapa saat sebelum menyadari bahwa tangannya di infus, di ujung sana Haikal mengenali dua lelaki yang sedang berbincang dengan seorang laki-laki dewasa yang menggunakan jas putih, dokter. Selang beberapa menit, obrolan mereka selesai dan kddua sahabatnya menghampiri ranjangnya.

“Kal? Udah bangun? Gimana? Ada yang sakit gak? Gue panik banget pas dapet telfon dari kepolisian. Ada yang sakit gak? Perlu gue panggilin dokter?” cerca Nathan saat melihat mata sahabatnya itu telah terbuka.

“Kal? Kok diem aja? Ada yang sakit?” tanya Arkan yang sedari tadi memperhatikan Haikal.

Haikal menatap Nathan dan Arkan bergantian, “Chanakya dimana? Kalian ga ngasih tau dia ya?” tanya Haikal, sejak ia sadar ia terus mencari keberadaan adiknya itu, dimana Chanakya? Tidak datang? Atau sedang membeli makanan. Nathan dan Arkan yang ditanya seperti itu saling memandang satu sama lain, Haikal ikut memandang keduanya, kenapa Nathan dan Arkan jadi saling pandang begini?

“Na? Ar? Kok kalian diem? Chana dimana?” tanya Haikal lagi saat tidak mendapat balasan dari keduanya.

Nathan menghela nafasnya ia duduk di kursi sebelah ranjang yang disiapkan suster. Menatap wajah sahabatnya yang ada sedikit luka akibat kecelakaan kecil tadi.

“Udahan yu Kal? Kasian loh Chana kalo lo gini terus. Chana gak ada Kal, Chana udah pergi dari 5 bulan yang lalu, dia udah ga disini sama lo, sama kita.” Tutur Nathan pelan, ia terdiam beberapa saat menunggu reaksi Haikal. Benar saja, tak lama dari itu suara tawa Haikal terdengar, Arkan dan Nathan kembali saling pandang.

“Gak usah bercanda, gue gak lagi ulang tahun dan sekarang bukan april mop.” Jawab Haikal seolah menolak kenyataan, sebagian hati kecilnya mulai merasakan gelisah yang entah Haikal tidak mengerti mengapa ia merasa gelisah. Chanakya, adik kecilnya masih ada bukan? Disini bersamanya.

“Gue gak bercanda Kal! Berhenti! Chanakya udah gak ada.” Ucap Nathan lagi, ia kini menatap wajah Haikal yang nampak gusar.

“Kok lo ngomong gitu? Gue selama ini sama Chana kok, liat. Mana handphone gue? Gue liatin chattan kita selama ini.” Ucap Haikal. Arkan menyerahkan benda pipih itu ke tangan Haikal. “Kalau bercanda jangan bawa kematian, gak lucu tau. Adek gue masih ada.” Ucap Haikal lagi yang tak dihiraukan oleh keduanya, biarlah Haikal yang menyadari sendiri kenyataannya.

Haikal membuka aplikasi whatsapp ia mencari chat bersama adiknya.

Hilang,

Kosong,

Tak ada balasan, tak ada jawaban. Pun dengan bubble chat yang tetap ceklis satu menandakan pesan terkirim namun tak diterima. Tangan Haikal mulai gemetar, matanya berembun menghalangi pandangannya.

Jangan,

Haikal tidak siap. Ia kembali membuka galeri dimana beberapa foto ia ambil kemarin dan kemarin lagi, pun dengan foto tadi pagi yang sempat ia ambil saat Chanakya turun dari mobil dan memasuki sekolah. Tidak ada, tidak ada foto bersama Chana, tidak ada kenangan bersama Chanakya. Semuanya hilang.

“Na? Ar? Kok gak ada? Tadi pagi masih ada, tadi siang gue bilang gak bisa jemput dia dan dia iyain kok, kok sekarang gak ada? Fotonya juga?” tanya Haikal yang masih asik memeriksa ponselnya. “Na? Kemana? Adek gue kemana?” Haikal mulai histeris, ia menatap Nathan dan Arkan bergantian.

Arkan mendekati Haikal dan merangkul pundak Haikal, “Selama ini, yang sama lo itu, ciptaan lo, halusinasi lo. Lo menolak kenyataan dan membuat seolah Chana masih di sini sama lo, dia gak ada sejak 5 bulan lalu Kal. Lo terlalu takut ditinggalkan sampai menolak keadaan kalo sebenarnya Chanakya udah pergi.” Ucap Arkan. Haikal menangis di pundaknya.

“Kal, ikhlasin. Kasian Chana.”

***
 
Haikal menatap sekelilingnya dengan pandangan hampanya, kosong, rumah besar ini kini hanya di isi oleh dirinya seorang. Tak ada lagi ia lihat Chana duduk sambil menonton, atau berteriak mendengar suara melengking bak lumba-lumba yang selalu memanggil namanya dengan semangat dan ceria.

Sudah 5 bulan sejak kepergian Chanakya, dan ia menolak kenyataan selama itu. Haikal tertawa miris, setelah kepergian ayah dan bunda, Haikal masih memiliki Chanakya, adik satu satunya. Dan kini, Chanakya pun pergi meninggalkannya.

“Adek ninggalin kakak sendiri, kenapa gak ajak kakak juga? Maaf, kakak belum ikhlas. Bakal kakak cari orang yang buat kamu pergi, meskipun sampai ke ujung dunia sekalipun.”

***
 
“Udah ketemu pelakunya?” tanya Haikal. Kini Haikal sedang berkumpul dengan kedua sahabatnya di sebuah cafe mereka sekalian membuat tugas sekalian membicarakan terkait kematian Chanakya.

“Belum ada, perasaan lo gimana? Oke?” tanya Arkan dibalas anggukan oleh Haikal. Ia nenyesap minuman dinginnya lantas menatap keluar.

“Gue oke, cuman ngerasa sepi. Kalo tau gini, gue milih gak usah sadar dan biarin Chana disini sama gue terus. Sepi, kehilangan kali ini bener-bener bikin gue sakit.” Lirih Haikal, ia menatap sendu lalu-lalang di depan sana. Namun setelah itu tatapannya menajam dan tangannya mengepal.

“Tapi gue gak akan lepasin orang yang ngambil nyawa adek gue, bakal gue cari ke ujung dunia sekalipun.” Ucap Haikal dingin, ia berjanji pada dirinya sendiri akan menemukan pelakunya.

***   
 
Haikal mendatangi makam adiknya untuk pertama kali setelah Chanakya di kebumikan, langkahnya terasa berat saat memasuki area pemakaman, matanya memburam akibat air mata yang sudah di pelupuk, di tangannya terdapat sebuket bunga matahari favorit adiknya. Sesampainya di gundukan tanah yang terdapat bunga yang ditaburi, Haikal berjongkok.

“Siapa orang yang datang?” tanyanya dalam hati.

Haikal tersenyum menatap nisan yang bertuliskan nama adiknya, Chanakya Bumiaksana. Nama yang di sematkan oleh bunda dan ayah 17 tahun yang lalu.

“Adek, maaf kakak baru datang. Gimana rumah barunya dek? Udah ketemu bunda sama ayah belum? Kakak sendirian sekarang, gak ada kamu lagi yang bakal manggil nama kakak pake suara cempreng kamu. Harusnya kamu bilang sama kakak siapa yang buat kamu kaya gini, dia jahat ya? Padahal adek udah siapin persiapan masuk universitas bareng kakak, adek maaf tapi kakak belum ikhlas. Bakal kakak cari orang yang udah nabrak kamu,” ucap Haikal menatap lamat-lamat gundukan tanah di depannya. “Kakak gabisa lama-lama di sini, ada yang harus kakak urus. Kakak pergi dulu ya? Nanti kakak bakal lebih sering buat dateng lagi, sampai jumpa adek kakak.”

Haikal tersenyum, menempatkan sebuket bunga matahari itu dengan indah lalu mulai beranjak pergi tak menyadari ada yang memperhatikannya dari jauh.
 
***

Tidak sulit bagi Haikal menemukan pelaku tabrak lari adiknya setelah dibantu Nathan yang termasuk anak tunggal kaya raya di pertemanannya. Kini diantar oleh kedua sahabatnya Haikal diantar ke kantor polisi karena orang suruhan papa Nathan telah membawanya ke kantor polisi.

Saat ketiganya datang seorang lelaki dengan baju tahanannya duduk di tempat pertemuan antara tahanan dan seseorang yang ingin bertemu. Jevano, dia adalah mantan teman Haikal, kenapa mantan? Karena laki-laki itu telah memutus pertemanan mereka karena seorang perempuan.

Jevano menyukai Nadya, sedangkan Nadya menyukai Haikal. Setelah pengakuan Nadya, Jevano nampak marah dan tak terima, dia dianggap sebagai perebut pacar orang padahal saat itu status keduanya saja belum jelas pun dengan Haikal yang tak mengenal baik bagaimana sosok Nadya.

“Long time no see, Jevano Adhiyaksa.” Sapa Haikal duduk di depan Jevano yang masih menunduk.

“Gue ga nyangka, setelah semua yang terjadi antara kita lo masih mau berurusan dengan gue. Udah seneng 5 bulan bebas? Lo adek gue yang ga bersalah pergi. Kenapa? Lo masih dendam sama gue karena Nadya lebih milih gue dari pada lo?” tanya Haikal lirih, ia menatap Jevano terus menerus meskipun lelaki itu tak menatapnya sama sekali.
“Bukan salah gue kalo ‘dia' sukanya sama gue, gue ga bisa ngendaliin perasaan orang buat perasaannya jatuh ke siapa, dan gue juga gabisa larang untuk dia suka sama gue,” ucap Haikal sambil menunduk. “Tapi kenapa lo malah pilih buat renggut adek gue Jev?” tanya Haikal menatap lekat Jevano.

“JAWAB JEV!!! LO GA SEHARUSNYA NINGGALIN DIA DI TENGAH JALAN! KALO LO PILIH BAWA DIA KERUMAH SAKIT SECEPATNYA,” teriakan Haikal terhenti, dadanya begitu sesak. “Chanakya gak akan pergi Jev, dia pasti masih bisa diselamatkan..” lirih Haikal.

Arkan dan Nathan membiarkan Haikal mengeluarkan seluruh keluh kesahnya pada pelaku tabrak lari adiknya, Haikal tau Jevano tidak sengaja, mendengar dari cerita Nathan bahwa hari itu sedang hujan deras membuat kecelakaan jadi lebih rawan. Tapi setidaknya, jika saja Jevano tak membiarkan tubuh Chanakya di bawah hujan dengan kondisi yang entah sudah bagaimana, Chanakya adiknya masih di sini bersamanya.  

“Meskipun lo temen gue, tapi Chanakya adek gue. Sengaja ataupun enggak, gue mau tetep lo dapetin apa yang harus lo dapet, lo harus bertanggung jawab atas nyawa adek gue Jev.” Ucap Haikal pada Jevano yang ternyata kini juga sedang menangis.

“Kita bubar karena seseorang perempuan, maka sekarang kita bener-bener selesai karena adek gue. Gue gagal jadi kakak yang baik, gue gabisa lindungin adek gue sendiri hiks gue bukan kakak yang baik..” Tangis Haikal. Nathan dan Arkan juga ikut menangis dalam diam, Arkan mengusap pundak Haikal bermaksud menguatkan.

“Maaf, Kal. Gue salah, gue minta maaf. Tolong maafin gue, tolong ampuni gue. Kalo perlu gue bersujud, gue bakal bersujud.” Ucap Jevano ia bangkit untuk mendekati Haikal namun yang di dekati justru menjauh.

“Maaf lo, gak akan ngembaliin adek gue Jev! Gue terlalu larut dalam kesedihan sampai gue membiarkan pelaku tabrak lari adek gue berkeliaran gitu aja, sementara gue di sini kaya orang gila!!” ucap Haikal pelan, ia menghapus jejak air mata lantas tersenyum.

“Udah ya Jev? Sampai bertemu lagi di persidangan nanti.” Ucap Haikal tersenyum lalu berlalu meninggalkan area kantor polisi diikuti Nathan dan Arkan.

“Yang kuat ya Jev! Gue tau lo ga sengaja. Tapi semua ini gabisa dibenarkan ‘Kan?” Nathan tersenyum lantas berlalu meninggalkan Jevano yang menangis sendirian.

***
 
12 Agustus 2020

Hari ini persidangan akan dilakukan, Haikal ditemani oleh kedua sahabatnya. Sedangkan Jevano ditemani oleh kedua orang tuanya yang sekarang tengah menangis. Persidangan berjalan dengan lancar, Jevano dijatuhi hukuman 2 tahun penjara dan denda. Seperti itu, Haikal merasa sedikit tenang walaupun tak bisa menghilangkan sesak dalam dadanya, setelah 5 bulan kepergian Chanakya, kenapa baru sekarang ia sadar, kenapa baru sekarang Haikal mencari pelakunya. Setidaknya dengan ini, pelaku yang menyebabkan kepergian Chanakya tidak berkeliaran dengan bebas.

Nathan menepuk pundak Haikal.

“Perjalanan lo masih panjang, Chanakya udah tenang sekarang, dan selanjutnya lo pun harus bisa hidup dengan bahagia meskipun tanpa Chanakya.” Ujar Nathan.

“Lo gak sendiri Kal, lo punya kita berdua. Jangan takut sendiri, kita bakal tetap disini.” Timpal Arkan dibalas senyuman oleh Haikal.

“Makasih guys, berkat kalian gue bisa nemuin pelakunya dan ternyata dia temen gue sendiri hahaha.” Haikal tertawa hambar, matanya menatap Jevano dan kedua orang tuanya yang berjalan mendekat. Ibu dari Jevano mendekati Haikal dan berdiri di depannya dengan mata yang masih mengeluarkan cairan bening.

“Nak Haikal. Maafin ibu ya nak, maafin anak ibu juga. Ibu turut berduka cita, maaf nak.” Tangis Anita-ibu dari Jevano terdengar membuat Haikal membawa wanita paruh baya itu ke dalam pelukan.

“Tidak apa-apa bu. Jadiin pelajaran untuk kedepannya, maaf saya memilih jalur hukum untuk keadilan adik saya, maaf karena buat anak ibu masuk penjara.” Bisik Haikal, ia menepuk-nepuk punggung wanita itu dengan pelan.

Anita mengangguk dan menghapus air matanya, lalu Jevano ikut dalam perbincangan walaupun masih dalam pengawasan polisi.

“Haikal, gue minta maaf. Mungkin maaf gue gabisa ngembaliin adek lo, tapi gue bener-bener minta maaf, gue ga sengaja.” Suaranya terdengar semakin parau. Lelaki jangkung itu menunduk, dadanya mungkin terasa sesak seperti ada batu besar yang mengganjal.

Haikal tak membalas apapun hanya tersenyum, ia berlalu setelah menepuk pundak Jevano sekali dan berpamitan kepada kedua orang tua Jevano diikuti kedua sahabatnya.

 
“Gue mau ke makam Chana dulu.” Ujar Haikal saat ketiganya sudah masuk mobil bersiap meninggalkan area persidangan. Nathan mengangguk.

“Mau beli bunga dulu?” tanya Arkan diangguki oleh Haikal.

***
 
Haikal jongkok setelah sampai di makam Chanakya, diikuti oleh Nathan dan Arkan yang juga jongkok, mereka berdua hanya memperhatikan bagaimana Haikal berbicara pada makam adiknya.

“Hallo Chana, adik kakak paling ganteng dan lucu. Kakak dateng lagi, bareng sama kak Nathan dan kak Arkan. Chana. Maaf kakak kamu harus pilih jalur hukum atas kepergian kamu. Kakak bakal belajar ikhlas setelah ini, makasih udah lahir jadi adik kakak paling penurut dan lucu, maaf selama ini kakak belum jadi kakak yang sempurna, maaf kakak banyak kurangnya. Maaf kalau keegoisan kakak kemarin bikin Chana sedih, setelah ini Chana boleh terbang yang tinggi sama ayah dan bunda, sampai waktunya tiba kakak bakal nyusul ya? Tapi nanti, setelah semuanya selesai disini.” Ujar Haikal panjang lebar, tak ada air mata hanya ada senyuman di bibir manis Haikal.

Nathan dan Arkan ikut tersenyum, war is over. Haikal telah sadar akan kepergian adik semata wayangnya, dan ia akan belajar mengikhlaskan.

“Segala sesuatu yang memiliki awal pasti memiliki akhir. Berdamailah dengan itu dan semuanya akan baik-baik saja. Terimakasih Haikal telah menjadi anak, kakak dan teman yang hebat.” Ujar Arkan memeluk Haikal dari samping. Ketiganya tertawa bersama, mungkin setelah ini takkan ada lagi Chanakya, Haikal tak akan lagi di temani oleh adiknya yang sangat ia sayangi, tapi hidup akan terus berjalan, maka Haikal akan terus berjalan.

Chanakya itu ibarat fatamorgana, ada namun tidak mungkin dicapai, juga aksa yang bermakna jauh serta amerta yang abadi dan tidak terlupakan. Chanakya telah jauh pergi hingga tak mungkin bagi Haikal untuk menggapai bayangannya, tapi Chanakya abadi dan tidak terlupakan selama Haikal masih hidup di dunia, bahkan ketika hidupnya telah berakhir, Chanakya, bunda dan ayah tidak akan pernah terlupakan.

“Titip salam untuk ayah dan bunda, Chana. Bilang, anak sulungnya merindukan kalian.”

Beberapa hal memang kerap kali lepas kendali, tentang sebuah perasaan yang tak bisa dipaksakan, tentang sebuah kehilangan yang harus direlakan. Ternyata, pintu terbesar menuju ketenangan hati itu adalah ikhlas. Ikhlas pada apa yang sudah terjadi di hari kemarin, hari ini ataupun kelak nanti di masa depan Ikhlas menerima apa yang telah Allah tetapkan untuk kita, mengikhlaskan hal-hal yang yang tak bisa diulang ataupun diubah lagi.

Sebab semua punya porsi masing-masing, jadi jangan khawatir dengan apapun yang sudah kamu lewati hari ini dan kelak nanti di hari esok yang akan datang. Sebab kini aku sedang mencoba ikhlas dari suatu kehilangan dan tersenyum dari suatu kesakitan yang sedang menimpa.

Sampai jumpa di kehidupan selanjutnya Chanakya, adik kakak paling keren. Terimakasih Chanakya Bumiaksana telah terlahir menjadi adik dari seorang anak lelaki Haikala Bumiaksana.

Written by Naysilla






Andi Nurdiansah
Andi Nurdiansah Pendidik di SMAN 1 Cibeber

Post a Comment for "Cerpen Aksa dan Amerta"