Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Cerpen Imperfect

CERPEN IMPERFECT
Bartadikara

IMPERFECT
Karya by Naysilla Dwinov

Semua orang tau siapa Bartadikara Pangeran, mahasiswa semester lima yang banyak dikenal oleh setiap kalangan, adik tingkat, kakak tingkat, dosen, bahkan pekerja di universitas Neo yang terletak di Jakarta. Dikara yang dikenal sebagai mahasiswa berprestasi dengan segudang keahlian. Dikara anak tunggal keluarga Manggala, keluarga terpandang. Karena memiliki anak perusahaan di berbagai kota.

Dikara hidup serba berkecukupan dari kecil hingga ia besar. Apapun yang ia inginkan selalu dengan mudah didapatkan, sang ayah dan bunda selalu dengan cepat tanggap memberikan apa yang ia mau.

“Bun, hari ini mau kemana?” Tanya Dikara yang baru saja datang dari arah dapur, di tangannya terdapat sepotong kue dengan brand ternama yang dibeli ayahnya tadi malam. Karina Andromeda, wanita tercantik yang pernah Dikara temui ibunda tercintanya.

“Hey sayang, bunda habis ini mau ke butik sama mau beli-beli buat belanja.” Karina tersenyum sambil berucap, ia menarik tangan putra satu-satunya untuk duduk disebelahnya. Dikara hanya pasrah saat tubuhnya ditarik untuk didudukan disamping sang bunda.

“Jadi buka cabang Bun?” Tanya Dikara Menatap Bunda yang tengah membaca majalah. Mendengar pertanyaan sang putra, Karina menoleh menatap Dikara dengan pandangan lembutnya.

“Jadi nak, nanti 2 minggu lagi kayanya. Oh iya, bunda juga mau buat toko roti gitu, ”Jawab Karina tersenyum dengan senang, Dikara yang melihat senyuman Itu mau tak mau ikut tersenyum. “Kamu nanti juga harus kaya bunda dan ayah ya.” Lanjut Karina. Lalu setelahnya kembali membaca majalah di tangannya. Senyum Dikara berubah Menjadi dipaksakan, jika bunda atau ayahnya sudah berbicara seperti itu, Dikara jadi malas untuk menanggapi.

Dikara hanya mampu menghela nafas ia hanya mengangguk setelah itu bangkit dari duduknya. “Eh, mau kemana?” Tanya Karina, Dikara menoleh ke arah bundanya. “Kamar bund, ada tugas.” Jawab Dikara Seadanya. Karina tersenyum lalu mengangguk. Belajar yang rajin sayang Ucopryn yang hanya dibolor angguran weh Dikora. Ia hanya tersenyum mins.

Pagi-pagi sekali Dikara Sudah sibuk, sebenarnya hari ini kelas Dikara harunya siang tapi diubah oleh dosennya, dan temannya yang kelewat rempong itu menelfon Dikara dan berteriak dengan kencang saat pertama kali ia mengangkat. Dikara tak berhenti menyumpah serapahi temannya yang kelewat tidak tahu diri itu sepanjang perjalanan.

“Lo harusnya berterima kasih sama gue kalo gak ada gue pasti lo masih ada di alam mimpi dan bolos matkulnya pak galak.” Cerocos Jema, demi Tuhan telinganya berdengung mendengar ocehan sahabatnya itu yang tidak ada hentinya. “Mulut lo mau berhenti ngomong sendiri atau gue yang buat mulut lo itu gak bisa ngomong selamanya.” Ucap Dikara galak, ia menatap sahabatnya yang lebih kecil darinya berhenti bicara. Jema terdawa pelan dan bertingkah seolah tidak terjadi apapun. “Lagian kalo gue bolos juga, gue tetep pinter, alias kepintaran gue gak akan berkurang.” Ujar Dikara sombong yang mana membuat Jama dengan tak memiliki belas kasih memukul lengan Dikara dengan kencang. “Sombong! Kepintarannya diambil Allah baru tau rasa lo.” Ucap Jema kesal, ia berjalan mendahului Dikara yang tertawa. “Bakal diambil kalo lo, otak lo kan kecil.” Teriak Dikara Sambil tertawa. Meledek Jema adalah hal yang sangat menyenangkan untuk Bartadikara lakukan, setidaknya saat ada Jema dan teman-temanya, hidupnya tidak terlalu monokrom.

Bartadikara adalah orang tersibuk ketiga di keluarganya selain ayah dan bundanya Dikara juga disibukkan dengan kegiatan kampus salah satunya mengisi acara webinar yang diadakan oleh kampusnya, dan tema yang dibawakan oleh pihak kampus kali ini adalah tentang “Prestasi.”

“Selamat siang semuanya, dengan saya disini Bartadikara Pangeran dan teman saya Pranadipa Aksarala. Di sini kami akan membawakan tema yang sudah ditentukan yaitu Prestasi.” Ucap Dikara yang didengarkan dengan seksama.

Acara dimulai dengan Dikara dan Pranadipa sebagai pembahas materi, “dalam berprestasi itu kita tidak memilih spesifikasi bidang tertentu, karena kita memiliki prestasi masing-masing disetiap bidangnya.”

Dikara menyandarkan tubuhnya ke sofa, sesekali ia  meneguk beberapa tegukan minuman kaleng digenggamannya. Selesai acara tadi ia mampir ke rumah teman-temannya yang sedang berkumpul.

“Udah kali Bar, gak usah dipikirin, ujian masih satu bulan lagi. Lo udah jarang ngumpul, sekalinya ngumpul jangan mikirin pelajaran dulu kali.” Celetuk Hema yang menatap Dikara sesekali. “Lo kaya gak tau nyokap bokap gue aja, gue tuh takut. IPK gue turun satu aja bokap gue ngamuk.” Balas Dikara mendengus. “Obses amat dah bapak lo sama nilai bang, sampe gak mikirin anaknya,” timpal Cetta yang sejak tadi hanya menyimak, laki-laki dengan kulit seputih susu yang sekarang baru memasuki semester tiga itu ikutan nimbrung. Mendengar ucapan adik tingkatnya sontak mereka tertawa, “parah lo! Gitu gitu bokap gue.” Balas Dikara.  “Udahlah Bar, seneng seneng aja dulu kita.” Saran Jilan, adik tingkatnya yang seumuran dengan Cetta itu memberi saran selagi dia sibuk memainkan games di tangannya. Saran yang diberikan Jilan disetujui dan diangguki oleh semuanya. “Yaudah ayo. Mau ngapain?” “Nah! Gitu dong.”  

Nyatanya Dikara tidak bisa santai barang untuk sejenak, karena setiap ia ingin berhenti ia selalu merasa ia harus selalu belajar. Mungkin otaknya sudah terekam karena sudah dari kecil ayah dan bunda selalu memaksanya untuk mendapatkan nilai sempurna dengan terus menerus belajar.

Sekarang sudah pukul 23.00 malam, waktunya untuk belajar belum Dikara akhiri, tangannya masih sibuk mengerjakan lembaran-lembaran latihan soal yang kemungkinan besar akan keluar saat ujian nanti. “Gue harus dapet nilai yang memuaskan, jangan sampai ayah kecewa. Gue harus bisa buat ayah bangga.” Ucapnya bermonolog.

Di malam yang dingin itu Dikara tetap fokus untuk belajar, tak mempedulikan bagaimana hembusan angin yang masuk karena pintu balkon yang ia buka, tak mempedulikan suara jangkrik malam yang semakin lama semakin mencekam. Dalam otaknya ia harus menyelesaikan semua ini.

Sejak SMP, SMA bahkan kuliah. Dikara sudah banyak mengikuti perlombaan, dari akademik hingga non-akademik, semuanya ia lakukan agar sang ayah dan bunda bangga akan semua pencapaiannya. Harusnya tidak sesulit itu, namun entah mengapa rasanya sangat sulit hanya untuk mendapatkan kata bangga dari kedua orang tuanya.

Rasanya lelah saat harus terus mengejar, padahal ia sendiri tidak tahu apa yang sedang dikejar. Sudah banyak medali, sertifikat, piala yang ia dapat namun tak membuat kedua orangtuanya berhenti memaksanya menjadi sosok sempurna.

Dikara bingung  sempurna seperti apa yang keduanya harapkan, sempurna seperti apa yang mereka inginkan. Hidup dengan harta berlimpah tak membuatnya senang karena ayah dan bunda selalu jauh, memang mereka dekat secara raga tapi mereka jauh secara jiwa.

Dikara hanya melihat bagaimana sibuknya ayah dan bunda, Dikara hanya melihat bagaimana repotnya bunda saat menelpon kesana kemari, bagaimana repotnya ayah yang selalu meeting dan kepergian bisnis. Tapi Dikara tidak mengetahui lebih dalam bagaimana kesusahannya mereka, bagaimana sulitnya mereka, karena baik ayah bunda atau Dikara, ketiganya enggan membuka suara.

“Tidak masalah jika kamu mengejar arti sempurna, yang masalah ketika kamu melupakan artinya jadi manusia.” Ucap bi Darmi kala itu membuat Dikara lagi lagi termenung.

“Semua orang berjuang untuk menjadi sempurna, tapi yang namanya sempurna di dunia ini tidak ada.” Tambah bi Darmi saat itu sambil menuangkan teh hangat kedalam cangkir karena kebetulan saat itu hujan sedang turun dengan deras yang mana membuat suasana jadi semakin dingin.

“Dikara sudah bibi anggap seperti anak bibi sendiri. Dika, setiap orang punya pandangannya masing-masing, sempurna dimata satu orang belum tentu sempurna dimata yang lainnya. Tapi dimata bibi, Dika sudah sangat hebat.” Ucap bi Darmi membuat Dikara menundukkan kepalanya.

“Sempurna dimata ayah sama bunda kapan bi?” tanya Dikara, ia menatap lurus kedepan dengan kedua tangan saling bertaut. Bi Darmi tersenyum teduh mendengar pertanyaan dari anak majikannya. “Nanti nak, ada saatnya. Dika harus sabar dan terus berjuang ya? Gak akan ada yang sia sia di dunia ini.” Tutur bi Darmi lembut. Suaranya buat Dikara rindu pelukan nenek.

“Prestasi itu ya, gak cuman ada di satu bidang, kamu pinter Inggris tapi gak pinter matematika bukan berarti kamu bodoh, tapi itulah namanya belajar. Dika akademik pinter, non-akademik apalagi, lihat tuh bahkan piala piala Dika ayah pajang.” Ucap bi Darmi menunjuk lemari yang berada di sudut ruangan berisi pajangan pajangan milik bunda serta piala yang Bartadikara raih.

Pujian bi Darmi kala itu jadi penutup perbincangan di sore hari saat matahari mulai terbenam dan langit semakin menggelap diselimuti mendung dan malam. Dikara senang, karena masih ada orang yang bisa melihat bagaimana perjuangannya dalam meraih prestasi.

“Hey son! Gimana perkembangan belajar kamu?Lancar? Ada yang menyulitkan gak?” tanya Jendral saat pertama kali bertemu lagi dengan sang anak setelah seminggu tidak berjumpa karena keperluan bisnis.

Senyuman Dikara yang terpatri saat sang ayah memasuki rumah luntur digantikan dengan muka datar mendengar sapaan yang dikatakan ayahnya. “Ayah bisa gak sih nanyain kabar anaknya dulu, sakit apa sehat. Belajar belajar mulu! Bosen  aku dengernya.” Ucap Dikara sambil duduk di sofa tak menghiraukan sang ayah yang kini malah tertawa.

“Orang kamu keliatannya sehat gitu. Belajar ya, bentar lagi ujian kamu harus dapetin nilai yang tinggi. Jangan kecewain ayah atau bunda,” Ucap Jendral sambil berjalan meninggalkan Dikara. “Ayah ke kamar dulu, capek.”

Dikara mendnegus, ia juga tidak akan lupa dengan kewajibannya yang satu itu, bagaimana mau lupa jika semuanya seolah tertanam dalam memorinya.

BRAK!!!

Dikara memejamkan matanya saat sang ayah menggebrak meja dengan kencang. Wajahnya yang tegas senakin mengeras karena emosi yang menguasai.

“Nilai apa ini Bartadikara?! Saya menyekolahkan kamu tinggi tinggi bukan untuk mendapatkan nilai B!” Teriak Jendral lantang. Hanya satu, hanya satu yang mendapat nilai B tapi kemarahan sang ayah sangat menggebu – gebu.

“Kamu itu belajar apa tidak? Saya sudah berulang kali menyuruh kamu untuk belajar! Kamu ini anak tunggal dari Jendral Manggala dan Karina Andromeda. Kamu harus sempurna, kamu harus bisa dalam segala hal dan bidang prestasi! Kamu harus meneruskan perusahaan saya Bartadikara!”

Buku-buku tangan Dikara memutih, ia mengepalkan tangannya dengan kuat seolah berusaha menenangkan emosi yang apabila tidak di tahan akan lepas bak letusan yang berapi-api. 

“AKU BUKAN ROBOT AYAH!! AKU BUKAN BONEKA AYAH! AKU GAK HARUS TERUS TERUSAN IKUTIN APA YANG AYAH SURUH DAN MINTA!” teriak Dikara membalas balasan itu membuat emosi ayah semakin meningkat.

PLAK!

“Kamu...” tangan ayah bergetar saat setelah tamparan ia lemparkan kepada anak semata wayangnya. Dikara terluka, ia tidak menangis tapi hatinya menjerit, tamparan ini tidak seberapa dibandingkan dengan sakit yang terus ayahnya torehkan dalam semua perjuangan yang ia usahakan.

“Kasih tau Dikara sempurna yang ayah maksut, kasih tau Dikara sempurna yang ayah inginkan. Kasih tau Dikara kapan ayah mau bangga sama anak ayah satu satunya,” tutur Dikara pelan tapi jelas masih terdengar dalam pendengaran ayah anak satu itu.

“Buka mata ayah, kapan ayah mau bangga sama aku kalau ayah terus menerus menutup mata.” Lanjutnya berucap lirih. Untuk pertama kali dalam hidupnya selama hampir 20 tahun. Bartadikara Pangeran Manggala kecewa pada Jendral Manggala, ayahnya.

Dalam ruangan yang sunyi dan sepi, Dikara menumpahkan segala tangisnya diatas meja belajar yang menjadi saksinya selama ini. Ayah memang kerap kali marah ketika Dikara tak mendapatkan nilai sesuai kemauan ayah, Dikara juga selalu dengan manut mendengarkan apa yang ayah katakan. Walaupun tidak sering, bukan sekali dua kali ayah berteriak kepada Dikara.

Tapi kali ini, Dikara lelah jika terus menerus mendengar tanpa boleh bersuara, Dikara ingin menyuarakan apa yang ia rasakan pada ayah tentang segala kecemasan yang Dikara rasakan.

Dikara terus mengerjakan soal-soal yang salah dan kembali menyelesaikannya, ia sedikit mengumpat ketika mengingat bahwa hasil yang didapatkannya sekarang karena ia tidak fokus mengerjakan akibat sakit yang tiba-tiba datang. Dikara berjanji akan buat ayah bangga. Dikara akan buktikan pada ayah bahwa ia bisa sukses dengan segala pencapaiannya sejak dulu. Segalanya akan ia kerahkan untuk meraih apa yang ia mau.

Dikara hanya anak laki-laki yang pundaknya sebenarnya tidak setangguh itu menahan segala beban, ada kalanya ia ingin menangis dengan keras dalam pundak seseorang. Mengatakan bahwa ia lelah, namun sekali lagi semua orang memandang Bartadikara laki-laki yang kuat, yang tangguh. Nyatanya, Dikara tak sekuat itu.

“Maafin ayah ya, mungkin ayah capek. Kamu belajar terus aja ya, buat ayah bangga.” Ucapan yang tak ia harapkan keluar dari mulut bunda, wanita yang telah melahirkannya kedunia. Tak bisakah saat seperti ini bunda memeluknya dan mengatakan semuanya akan baik baik saja? Dikara muak dengan pinta semua orang yang memintanya untuk belajar.

Walaupun Dikara kecewa pada ayah atas segalanya yang terjadi apalagi setelah pertikaiannya malam itu, tapi Dikara percaya kalau ini semua yang terbaik, Dikara terus menanamkan pada dirinya bahwa ayah hanya ingin yang terbaik untuk putra semata wayangnya. Karena katanya, kekecewaan itu harus kita salurkan dengan bekerja lebih baik lagi dan bekerja keras untuk mencapai prestasi yang lebih tinggi.

Dikara percaya, suatu saat nanti kesuksesan akan menjadi miliknya. Bartadikara sesempurna yang dikenal banyak orang, disukai semua kalangan namun hanya malam yang tahu bagaimana lemahnya sosok Bartadikara Pangeran.

Kakek datang saat kelulusan Dikara akan dilakukan ia merasa marah saat tahu anaknya memperlakukan cucu kesayangannya bak boneka dengan robot.

“Dalam setiap perjuangan rasa sakit pasti akan selalu datang, tetapi itulah ujian bagi orang-orang yang mengaku pejuang,” ucap kakek menepuk-nepuk pundak Dikara dengan lembut. “Perjuangan kamu di kuliah hampir selesai tapi masih ada dunia kerja yang jauh lebih menyeramkan.”

“Jen, sempurna itu nggak ada. Anakmu cuma bisa jalan doang kalau kamu buka mata kamu pasti bangga.” Ujar kakek pada Jendral, ayahnya.

“Karena definisi sempurna itu suatu keadaan atau sesuatu yang bersifat utuh, tidak ada manusia diciptakan sempurna semua manusia pasti memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing. Kita tidak bisa memandang kelemahan dan kelebihan satu orang dengan orang yang lain sama. Tapi putramu ini udah definisi sempurna bagi dirinya, udah jangan cari sempurnanya lagi, jangan sakiti putramu dengan embel-embel demi kebaikan.”

“Gila! Sahabat gue keren banget. Dapet predikat cumlaude keren! Kita harus rayain gak sih?” Seruan heboh Jema menarik perhatian orang sekitar walaupun yang di perhatikan justru memilih acuh.

“Selamat ya bro! You did so well btw.” Ucap Matthew memeluk Dikara. Dikara tersenyum dan mengangguk. “thank you! Lo juga selamat udah lulus, akhirnya gak revisian lagi.” Lanjutnya sambil tertawa.

“Bar, nyokap bokap lo tuh.” Ujar Hema sedikit berteriak, mendengar itu Dikara menileh dan menghampiri kedua orangtuanya.

Di sana Jendral dan Karina berdiri, wanita cantik itu menggunakan gaun selutut dengan buket bunga di tangan.

“Happy graduation anak ayah! Ayah bangga sama kamu, maaf ya ayah baru sadar kalo anak ayah sekeren ini ayah belum telatkan? Selamat ya nak.” Ucap Jendral dengan mata berkaca kaca. Dikara langsung memeluk ayahnya dengan erat, akhrinya selain bisa lulus dengan nilai terbaik, Dikara juga berhasil membuat ayah bangga.

“Selamat anak bunda.”

END.


Andi Nurdiansah
Andi Nurdiansah Pendidik di SMAN 1 Cibeber

Post a Comment for "Cerpen Imperfect "