Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Cerpen Haru dan Duka

 

Cerpen Haru dan Duka

Haru dan Duka 

Aku berjalan seorang diri, dari kantin menuju kelas tanpa mengikuti atau diikuti bayangan tubuhku atau siapapun yang bersamaku. Panas terik karena matahari yang sedang berada di atas kepala tak membuatku merasa kepanasan karena aku yang sedang masuk angin. Sesampainya di kelas, aku menghampiri temanku dan duduk di sebelahnya sambil mengobrol ringan, Dapit namanya. 

“Hari ini ada pendataan eskul kan ya? Kamu mau ikut apa?” Tanya Dapit sesaat setelah aku duduk di sampingnya. 

“Paskibra.” Jawabku, sambil sesekali melihat area kelas yang masih sepi karena beberapa teman kelasku yang mungkin masih berada di luar kelas. 

“Tumben banget, kamu kan anti panas-panasan, capek-capekan. Yakın bakal kuat fisik sama mental? Hahaha.” Tawa Dapit terdengar di seluruh penjuru kelas yang sunyi, membuatku tanpa segan memukul bahunya pelan. 

"Ngeledek! Ini aku lagi sakit kan gara-gara ketularan sama kamu. Lagian ya, aku pengen jadi pengibar bendera di istana negara tau, aamin.” Ucapku pada Dapit, seraya mengaminkan ucapanku sendiri.

“Gak jadi benci negara nih?” tanya Dapit, raut wajahnya begitu menyebalkan ketika ia mengatakan kalimat itu, seolah sedang meledekku dengan puas.

“Enggaklah sekarang aku udah paham NKRI harga mari.” Ucapku dengan senyuman bangga yang terukir diwajahku. 

“Raksaku sudah besar.” Puji Dapit, buat aku memutar bola mata malas, walaupun begitu aku tetap tersenyum— terpaksa. 

Obrolan kami terpaksa terhenti kala beberapa kakak kelas memasuki ruang kelas diikuti teman-temanku yang juga ikut masuk kedalam kelas. Kakak kelas itu datang dengan sebuah buku untuk mendata nama murid baru yang akan mengikuti eskul. 

***

Malam terasa semakin dingin, ditemani hangatnya senyuman ibu aku memulai pembelajaran. Bulan dan bintang nampak bercahaya dengan indahnya ketika aku mengintip dari sela gorden yang terbuka sesekali karena tertiup angin. Ku keluarkan sebuah foto lelaki yang selalu aku bawa kemanapun aku melangkah, ayahku.

“Andai ayah tidak jadi tentara ya bu. Pasti aku masih bisa menatap wajahnya yang tegas, masih bisa merasakan sentuhan hangatnya walau hanya sekali.” Ucapku, suasana malam yang mendukung. Bukannya belajar aku malah sibuk memandangi foto ayah yang tersenyum, senyuman yang tak bisa lagi ia tatap selain dalam foto yang menjadi kenangan. 

“Takdir Tuhan tidak pernah salah nak, sudah menjadi jalan hidup ayah untuk mengabdi pada negara hingga akhir hayatnya. Raska, anak ibu harus bisa melanjutkan perjuangan ayah ya nak.” Ucap ibu, senyumnya begitu manis saat mengatakan itu, tatapanya sendu seolah menyimpan ribuan rindu yang tak bisa tersampaikan setelah kepergian ayah. 

Kalimat ibu merubah pandanganku. Tentang kematian ayah yang bukan sepenuhnya salah negara, tentang kematian ayah yang bukan salah takdir. Aku tak seharusnya marah atas takdir yang telah Tuhan tetapkan, seharusnya aku bangga karena terlahir menjadi seorang anak yang memiliki ayah hebat. 

Ucapanku pada Dapit hari lalu aku buktikan, mengikuti eskul paskibra dan akan berlatihan untuk mengibarkan bendera sang saka merah putih. Setiap hari setelah pulang sekolah, aku dan teman-temanku latihan baris berbaris untuk selesai menjadi paskibra kecamatan. Tidak banyak yang lolos, berterimakasihlah pada Tuhan yang mengizinkanku meraih mimpiku karena aku dipercayai untuk membentangkan bendera. 

Sedikit tidak percaya karena ini kali pertamaku mengikuti paskibra dan akan menjadi pembentang bendera. Setiap hari, di bawah panas teriknya matahari, di hujan yang turun dengan lebatnya yang sesekali hadir, lapangan yang berdebupun ikut dalam latihan yang mengharuskan kami mengenakan masker dan topi. Kami dihidangkan sop yang tidak dijual dimanapun, yaitu campuran nasi dan air mineral dan masih banyak tradisi makan anak paskibra yang terkadang membuatku menghela nafas lelah. Selain itu jika ada yang melakukan kesalahan dalam latihan bukan hanya telinga dan mata yang terkena sasaran, indra peraba pun ikut merasakan, anak paskibra benar-benar bermental baja. 

***

Satu hari sebelum pengibaran, aku berpamitan pada ibu meminta restu karena hari ini para paskibraka akan menginap di gedung PGRI. Selain rumahku yang jauh juga agar esok pagi ketika upacara akan dilaksanakan kami tidak perlu kerepotan. Pun sebelum upacara, malamnya akan ada pengukuhan. 

“Ibu, Raska besok akan mengibarkan bendera sang saka merah putih. Ibu datang ya?” tanyaku. Netraku tak pernah bosan menatap wajah ibu yang begitu damai untuk ku tatap, senyumnya yang setulus sutera dan sehangat mentari itu selalu membuatku merasa aman. 

Ibu tersenyum, mengecup dahiku dengan sayang. “Ibu sangat bangga pada Raska, ayah di sana juga pasti bangga sekali sama Raska. Ibu pasti hadir, ibu akan datang bersama bibi ya nak.” Tutur ibu dengan lembut, suaranya bagaikan melodi yang selalu ingin aku dengar sebelum memejamkan mata dan saat membuka mata. 

“Hari ini Raska tidak tidur di rumah, ibu jangan kangen Raska ya, hehe.” Ucapku sambil tersenyum jahil, ibu mengenggam tanganku dengan lembut seolah menyalurkan rasa sayang. 

“Raska belajar yang rajin ya nak, ibadan jangan ditinggal. Jadikan Indonesia maju, di tahun emas ini.” Ucap ibu, aku hanya tersenyum dan mengangguk. 

“Iya ibu sayang. Doakan Raska ya bu.” Ucapku, ku kecup punggung tangan ibu dan mencium pipi ibu yang mulai keriput. 

Hari ini adalah latihan terakhir dan upacara pengukuhan dimulai. Kami para paskibraka mengikuti upacara dengan khidmat. Aku mencium sang saka merah putih sambil mengucap ikrar. Wajah ayah terbayang dalam benakku, senyumku makin merekah mengingatnya. 

***

Aku terbangun saat mentari telah menampakkan cahayanya, kami bersiap-siap untuk melakukan pengibaran, aku bersama temanku berjalan melangkah keluar gedung, disana tanpa sadar aku mendengar suara samar dari pak Dani yang sedang menelepon. 

“Ibu Raska?” 

Jantungku serasa hampir berhenti berdetak ketika mendengar namaku disebut. 

“Innalillahi Wa Innalillahi Rojiun.” Lanjut pak Dani. Nafasku tercekat, seolah pasokan oksigen di sekitarku menipis dan menghilang, kakiku seperti jelly karena setelah itu aku hampir terjatuh ke tanah jika saja temanku tidak menahan. 

Ucapan pak Dani yang entah ditujukan untuk siapa, membuat perasaanku kalut, tanganku mengepal tanpa sadar. 

“Ibu Raska kenapa pak?” tanyaku menatap pak Dani dengan pandangan yang entah, aku sendiri tak bisa menjabarkan. 

“Raska sabar ya nak, Raska kibarkan bendera merah putih dahulu. Bapak turut berduka cita.” Ucap pak Dani. Perkataan itu makin membuatnya bingung. 

“Siapa? Kenapa? Ada apa?” tanyaku beruntun meminta jawaban. 

“Ibu kamu meninggal Raska.” 

Ibu kamu meninggal Raska. Ucapan yang tak pernah siap ia dengar dari mulut siapapun, tolong bangunkan aku dari mimpi buruk ini. Jangan biarkan aku terpenjara dalam mimpi burukku. Rasanya aku ingin menjerit, kembali menyalahkan Tuhan yang dengan tega kembali mengambil poros hidupku. 

Cairan bening keluar dari kedua bola mataku yang biasanya memandang dunia dengan binar indah. Mengapa mendadak? Apakah ibu lelah dan ingin bersama ayah kembali? Mengapa aku selalu menjadi pihak yang tertinggal? 

Ibu, ayah. Tak bisakah kalian kembali dan membangunkanku dari mimpi buruk ini? Aku ingin sekali berlari ke rumah, membuktikan perkataan pak Dani yang tak bisa kuterima hingga kini, namun aku tak bisa melepas tanggung jawabku. Teman-teman dan pembina datang lalu menguatkanku.

Upacara dimulai dengan khidmat, aku harus tegar, tersenyum dibalik luka yang kusembunyikan. Aku merasakan ibu disini, hadir melihat anaknya yang kini tengah mengibarkan bendera. Kukibarkan bendera dihadapan puluhan orang, kupersembahkan untuk Indonesia, khususnya untuk ayah dan ibu yang jauh disana. 

Aku menghela nafas dengan berat, “Bendera siap.” Teriakku dengan lantang. 

“Kepada bendera merah putih, hormat grak!” 

Lagu kebangsaan Indonesia raya berputar bersamaan denganku yang menarik tali itu, mengibarkanya dengan penuh rasa yang campur aduk tak bisa ku jelaskan. 

Perasaan haru membuncah, kami menangis setelah selesai melakukan pengibaran, melakukan pengibaran tanpa kesalahan. Rasa haru bercampur duka menyelimuti, aku bersamaan dengan yang lainnya menuju rumahku. 

Sesak kembali menyelimuti saat melihat rumahku telah ramai insan berpakaian serba hitam seolah ikut berduka dalam kepergian sang ibunda tercinta. Beberapa suara juga terdengar bersahut-sahutan memanggil namaku, tangisku terdengar begitu pilu menyayat hati, rasa ragu yang selama perjalanan ku rasakan lenyap tergantikan rasa sakit beribu kali seolah ada ribuan belati menancap. 

Menatap wajah damai ibu yang kini terpejam dengan tenangnya, ku pandangi wajahnya yang tersenyum dalam lelapnya. Wajah yang melahirkanku, mata yang dahulu menatapku, bibir yang dahulu mengucapkan ribuan kalimat sayang padaku kini telah berhenti bekerja, ia hilang di bawa waktu. 

Kucium wajah ibu untuk terakhir kalinya, ibu harus dikebumikan. Setiap yang bernyawa akan ada masa waktunya di dunia habis, waktu itu telah habis, ia pergi dengan ribuan luka yang ditinggalkan untukku, anaknya. Aku tak bisa, aku harus ikhlas namun aku tidak mau, aku tidak bisa secepat itu mengikhlaskan ibu yang telah pergi bersama ayah. 

Sekarang aku sendiri ya? 

Bu? 

Yah? 

Mengapa meninggalkanku sendiri yang belum mampu berdiri dengan kakiku sendiri? Tak bisakah kalian bertahan lebih lama? Kini, kepada siapa aku harus mengadu jika kalian justru hanya pergi berdua tanpa mengajakku, tak bisakah kalian hidup lebih lama? Sekarang aku harus menyalahkan siapa atas kepergianmu, ibu? 

***

“Apa yang sebenarnya terjadi bi? Kenapa tiba-tiba?” tanyaku pada bibi, setelah pemakaman selesai dilaksanakan. Suasana duka masih begitu terasa, dinginnya udara makin membuatku merasa kehilangan. 

“Ibu terkena penyakit kanker serviks sejak lama, tapi ketahuan baru-baru ini. Ibu telat ditangani.” 

Salahku kah ini? Sesibuk itulah aku sampai-sampai tidak mengetahui ibu sakit. Aku terlalu sibuk mengejar mimpi hingga lupa bahwa ibu semakin hari semakin bertambah usianya, semakin hari keriput semakin nampak dalam wajahnya yang anggun dan cantik itu. 

“Raska jangan sedih terus ya. Bibi tau, tidak ada yang menyenangkan dari sebuah perpisahan, sebaik apapun perpisahan akan tetap menyakitkan terlebih terpisah oleh kematian, tapi semua takdir sudah Tuhan tulis untuk kita, kita hanya perlu belajar menerima. Raska harus buat ayah dan ibu bangga, doakan mereka selalu, bibi masih ada di samping Raska.” Tutur bibi seraya memelukku, aku menangis dalam dekapannya yang serasa peluk hangat ibu. Aku menangis dengan kencang seolah menolak takdir yang telah Tuhan tuliskan untukku, semuanya terasa berat bagiku. 

Matahari terbenam, aku terduduk di halaman rumahku sambil menatap langit oranye yang membentang di cakrawala. Menatap tanaman milik ibu yang kini pemiliknya sudah kembali kepada tanah, kembali pada pangkuan sang maha kuasa menuju keabadian. 

Semua ini tidak mudah, aku sulit menerima takdir namun aku yakin ini adalah jalan terbaik yang telah Tuhan titipkan untukku. 

Ibu, pesanmu akan selalu kuingat, jasamu akan selalu ku kenang. Senang bisa terlahir menjadi anak dari kedua orang tua yang hebat seperti kalian, jika kehidupan lain ada aku tidak akan ragu meminta kalian menjadi orang tuaku kembali, mengukir banyak kenangan yang belum sempat kita realisasikan di kehidupan ini. Bu, yah, bantu aku terus berjalan karena hidupku belum berakhir. Bahkan ketika kalian berdua telah berpisah denganku, kehidupan tetap berjalan, dunia tetap berputar, matahari tetap datang digantikan bulan yang begitu cerah menampakkan cahayanya. Aku akan melanjutkan perjuangan ayah, tolong semesta merestui untukku membuat mereka tersenyum dengan keberhasilan yang akan ku capai di masa depan nanti. 

SELESAI


Nama : Nailah Nur Rahman

Asal Sekolah : SMAN 1 Cibeber 

Nomor WA : 081219348146

TTL : Bogor, 15 Juni 2007

Alamat : Pasirgombong RT/RW 001/001 Kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. 

Andi Nurdiansah
Andi Nurdiansah Pendidik di SMAN 1 Cibeber

Post a Comment for "Cerpen Haru dan Duka "