Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Cerpen Tema Generasi Muda

MAHARDDHIKEKA

By : Naysilla Dwinov

Mahasiswa animasi
 

Haura Jasmine, mahasiswi fakultas Hukum yang sangat menjunjung tinggi Hukum di negara sebagai negara Hukum. Mungkin, kebanyakan orang akan mengenal Haura sebagai mahasiswi yang memiliki jiwa sosial tinggi dan gemar tolong menolong, beberapa kali ia akan ikut temannya demo, menyuarakan suara rakyat yang tak pernah didengar pemerintah. Wajar saja jika sekarang, generasi muda dianggap sebagian generasi yang mulai hilang rasa nasionalisme dan patriotisme dikarenakan faktor internal seperti kekecewaan pemuda terhadap kinerja pemerintah dan sebagainya, sedangkan faktor eksternal seperti arus globalisasi yang membawa pengaruh negatif. 

 

Tetapi tak menutup kemungkinan itu semua karena pemerintah yang terkesan menutup mata dan telinga terhadap suara rakyat. Indonesia telah merdeka. Memang betul saat proklamasi dibacakan pada 17 Agustus 1945 Indonesia dinyatakan telah merdeka. Negara ini lepas dari kolonisasi Belanda hampir delapan dekade lalu. Tiap-tiap warga negara merdeka seharusnya sudah bebas dari segala bentuk kekerasan dan penindasan. Nyatanya, kita belum benar-benar merdeka dari kekerasan. Ironisnya, negara justru tidak pernah belajar dari kolonialisme itu sendiri karena kekerasan dan kesewenang-wenangan yang sampai hari ini terjadi banyak diduga melibatkan aparat negara. 

 

Seperti yang terjadi sekarang, di warung pedagang kaki lima Haura berada, bersama seseorang pelanggan lain dan beberapa anak remaja sepantaranya yang sedang melaksanakan makan siangnya. 

 

“Neng sekarang kuliah neng?” tanya si bapak yang Haura ketahui bernama pak Sugeng. Mendengar pertanyaan itu sontak Haura langsung mengangguk sambil tersenyum. 

 

“Sekarang saya lagi kuliah semester 4 jurusan Hukum pak.” Balas Haura sambil tetap mempertahankan senyum manisnya.

Pak Sugeng nampak tersenyum teduh, tapi Haura sadar senyuman itu sendiri menyiratkan kesedihan yang tak bisa ia pastikan apa itu. 

 

“Anak saya pengen sekali kuliah. Tapi tidak bisa, karena saya gak punya uang. Padahal dia sudah belajar mati-matian agar diterima di kampus impiannya, tapi tetap kalah dengan anak-anak pejabat dan sederetnya yang memiliki uang lebih.” Cerita pak Sugeng, binar matanya memandang lurus kedepan dengan secangkir teh hangat yang dibuatkan oleh si ibu pemilik warung. 

 

“Ya, benar. Pada dasarnya orang yang memiliki uang lebih selalu diutamakan.” Jawab Haura pelan, bagaimanapun ia sudah merasakan karena ia sendiri adalah mahasiswi beasiswa yang keberuntungan membawanya pada kampus yang sudah menjadi impiannya sejak lama. 

 

“Tapi bapak jangan sedih, nanti pasti ada rezekinya, saya bantu doa ya pak.” Ucap Haura tersenyum, ia menyuapkan nasi dengan lauknya kedalam mulut, mulai menikmati makan siangnya ditemani obrolan ringan dari si bapak yang katanya sedang beristirahat setelah bekerja setengah hari. 

 

“Saya denger-denger, daerah di sana mau digusur, benar bu?” tanya pak Sugeng kepada bu Eti sang penjaga warung. Haura hanya diam saja mendengarkan, akan bergabung apabila diperlukan. 

 

“Benar, warga sudah memprotes dengan menyuarakan kepada pemerintah, namun sampai saat ini belum juga didengar, entah apa mau mereka. Orang kaya selalu serakah, sedangkan pemerintah selalu tutup mata dihadapan rakyat kecil, saya juga tinggal di daerah situ soalnya.” Cerita bu Eti. Hatinya terenyuh, begitu banyaknya manusia yang masih kekurangan, jika saja Haura masih terus mengeluh, apakah ia tidak malu pada mereka yang bahkan untuk berteduh saja bingung, untuk makan hari ini saja tidak tahu. 

 

Pak Sugeng mengangguk-anggukan kepalanya setuju, helaan nafas berat terdengar, “Kita hanya masyarakat kecil yang tak ada artinya dimata mereka bu.” 

 

Padahal dimata hukum semuanya sama, si kaya, si miskin, si sedang, semuanya sama. Tak ada yang dibeda-bedakan, Haura jelas tahu karena ia mempelajari itu semua. Bagaimana Indonesia mau maju kalau petinggi petingginya saja berlaku seenaknya, generasi muda selalu disalahkan dan dianggap generasi sampah padahal anak mudalah yang melanjutkan perjuangan para pahlawan mencari keadilan. 

 

‘Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.’ Bohong, kenapa hanya mereka yang kaya, yang punya orang dalam, yang sering menjilat dan jago pencitraan yang mendapatkan keadilan. Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin, dimana yang menyuarakan kebenaran dibungkam sedang kebohongan diagung-agungkan.

 

***

 

Haura berjalan dengan santai menikmati sore hari yang teduh ditemani kicauan burung yang menjadi iringan setiap langkahnya. Matahari hampir terbenam saat ia baru selesai menyelesaikan kelasnya pada hari ini, mulutnya bersenandung kecil mengikuti gerakan tangannya yang berayun pelan, hari ini cukup cerah tidak mendung sama sekali. Sang cakrawala menampakkan cahayanya begitu indah, lembayung mulai terbenam digantikan cahaya bulan dan bintang. Melewati gang-gang kecil akhirnya Haura sampai di halaman rumahnya.

 

Hari ini cukup melelahkan setelah menjalani hari penuh organisasi, bertemu dengan banyak orang dan membicarakan hal ringan ke berat sekalipun telah ia lakukan pada hari ini.

 

Haura merebahkan tubuhnya di kasur, meregangkan ototnya yang terasa kaku. Ingatannya kembali pada pembahasan sore ini bersama temannya tentang kemerdekaan. Indonesia sudah benar benar merdeka dari penjajahan memang benar adanya, tapi merdeka dari aparat negara yang memandang beda rakyat kecil, apakah sudah merdeka?

 

Semakin hari ia belajar tentang bagaimana dunia berputar dan kehidupan berjalan. Ia ingin membebaskan dunia dari korupsi yang merajalela, aparat negara dan pemerintahan yang memandang rendah rakyat kecil namun ia hanyalah seorang mahasiswi yang belum punya kuasa atas semua itu. Ia tidak bisa membicarakan negara seolah ia yang memiliki kendali atas segalanya, ia hanya bisa berusaha dengan menolong mereka yang kesulitan dan berusaha menyuarakan suara rakyat kecil yang tak pernah terdengar.

 

***

 

Jika dahulu Haura hanya seorang mahasiswi yang tak memiliki kuasa apapun tentang hukum, kini ia berhasil sedikit demi sedikit mencapai mimpinya.

 

“Saya minta tolong sekali mbak, saya tidak bisa melepaskan lahan ini kepada mereka. Dengan harga tinggi sekalipun saya tidak ingin melepaskannya apalagi dengan harga yang sangat rendah.” Ucap pak Arwan pemilik rumah yang cukup strategis di dekat perkotaan. Karena lokasinya yang strategis, rumahnya ingin digusur untuk di bangun kembali menjadi apartemen di mana rumah tersebut sudah berdiri bahkan sejak orang tua pak Arwan masih hidup.

 

“Bapak tenang aja, saya dan teman saya akan berusaha untuk mempertahankan rumah bapak.” Ucap Haura tersenyum tenang sambil mengusap bahu pak Arwan yang menunduk. Bersama temannya, Rakala Hasibuan. Haura akan mengambil kembali hak pak Arwan yang diambil paksa oleh pengusaha di luar sana.

 

“Apa yang harus kita lakuin?” tanya Rakala saat keduanya tengah makan siang. Menjadi seorang pengacara tidaklah mudah untuk Haura lakukan, tapi ini adalah hal yang ia impikan dan ia doakan sejak lama, membantu rakyat kecil yang tidak mampu meraih haknya.

 

“Kita bicara dengan mereka, bagaimanapun rumah itu sudah berdiri sebelum apartemen di sebelahnya di bangun, terlepas dari berapa harga yang di tawarkan rasanya sama sekali tidak adil jika digusur secara paksa.” Balas Haura.

 

Menekuni dunia hukum sejak masa perkuliahan dan kini ia menjadi seorang pengacara, Haura banyak sekali bertemu dengan bermacam-macam orang yang berbeda sifat dan sikap.

 

“Coba tanyakan ke perusahaan, bisa tidak mereka mengeluarkan bukti legalitas kepemilikan lahan tersebut, jangan seenaknya menggusur lahan warga.” Timpal Hema, teman mereka yang juga ikut ke dalam makan siang hari ini.

 

“Ya tentu itu harus di lakukan,” jawab Rakala. “Tapi mereka bisa diajak bicara gak?” lanjutnya bertanya.

 

“Kayanya bisa, liat aja tuh antek-anteknya ada mulu di depan rumah pak Arwan dan warga.” Ucap Haura mendapat anggukan dari Rakala dan Hema, benar juga.

 

“Semangat untuk kita membantu mereka yang kesulitan.” Ucap Hema tersenyum sambil mengangkat gelas minumannya ke atas, bermaksut ingin melakukan cheers. Hal tersebut mengundang tawa dari Haura dan Rakala.

 

“Minum es teh manis juga sok sokan cheers.” Ucap Haura diselingi tawanya.

 

***

 

Haura dan Rakala kembali datang ke kediaman pak Arwan beserta keluarga. Terkejut saat melihat istri pak Arwan yang bernama bu Melisa menangis didampingi kedua anaknya yang kini memeluk Melisa dari samping. Dengan cepat Haura menghampiri Melisa.

 

“Ibu, ibu kenapa? Ada apa bu?” tanya Haura menggebu-gebu. Ia bersitatap beberapa detik bersama Rakala yang juga sama paniknya. Apalagi kedatangan puluhan petugas berpakaian lengkap mengepung rumah pak Arwan dan beberapa rumah warga disekitarnya. Disana juga ada brimob dan polisi serta tim terpadu kesehatan perusahaan yang juga datang.

 

“Penggusuran paksa akan dilakukan hari ini mbak, para warga tidak mau ada yang keluar dari rumah karena menolak penggusuran ini, tapi lihatlah yang dilakukan mereka.” Tangis Melisa terdengar pilu. Haura menggertakkan giginya menahan kesal, terlihat Rakala yang juga mengepalkan tangannya. Ini tidak adil, terlepas dari lokasi yang strategis dan harga yang ditawarkan mahal, tetap saja ini pemaksaan dan tidak ada yang di benarkan dari sebuah pemaksaan.

 

Haura dan Rakala sendiripun sudah berusaha berbicara dengan si pemilik yang mengidekan menggusur lahan warga. Namun bebalnya, suara mereka berdua pun tak didengar, jangankan mereka berdua suara warga yang menolak pun tak diidahkan apalagi suara mereka berdua.

 

“Bu, saya sudah berusaha tapi mereka lebih kuat.” Ucap Haura mengusap bahu Melisa yang bergetar karena menangis. Sekalipun ia sudah berubah profesi menjadi seorang pengacara, tetap tidak bisa berlaku seenaknya. Meski begitu tak membuat Haura menyerah untuk memperjuangkan hak warga yang meminta pertolongan padanya. Hingga akhirnya kasus ini dibawa ke meja hijau pengadilan, Haura tentu berada ditim warga Kenanga yang menjadi korban paksaan penggusuran.

 

“Surat tugas tidak ada, surat perintah tidak ada tetapi mereka mengancam akan melakukan penggusuran.” Ucap Haura dengan tegas, ia menatap pengacara lain di sebrang sana yang juga menatap ke arahnya.

 

“Kami sudah siap membayar mereka lebih mahal, tetapi mereka menolak. Kami juga sudah berbicara baik baik kepada mereka, tetapi mereka memilih seperti ini.” Balasnya tidak mau kalah. Haura menyerit mendengar jawaban yang tidak masuk akal tersebut.

 

“Kita menyebut pengosongan paksa, penggusuran paksa,” Ucap Haura. “Komisi HAM PBB melalui resolusi nomor 2004/28 menyatakan bahwa penggusuran paksa merupakan bentuk pelanggaran berat terhadap serangkaian hak asasi manusia, terutama hak atas tempat tinggal dan penghidupan yang layak. Penyalahgunaan kekuasaan, ini tidak bisa di biarkan. Membicarakan kemerdekaan yang sebentar lagi kembali dirayakan, kemerdekaan itu sendiri artinya bebas sedangkan mereka tidak dibebaskan untuk menyuarakan pendapat dan suara, sedang pihak lawan menutup rapat telinga dan mata atas penyuaraan kebenaran.” Lanjut Haura berucap dengan tegasnya.

 

***

 

Persidangan kali ini sangatlah menguras tenaga, Haura mengerahkan semua yang ada di otaknya untuk berbicara masuk akal dan dapat diterima, karena bagaimanapun juga penggusuran paksa tidak dibenarkan bahkan oleh hukum sekalipun, hukum itu adil tidak memandang siapa mereka dan apa profesi mereka, ketika mereka melanggar hukum maka mereka harus menerima hukum.

 

“Tenang aja bu, kita pasti akan mendapatkan kabar baik. Ibu banyak-banyak berdoa saja.” Ucap Rakala pada Melisa yang kini tersenyum teduh menatap Haura.

 

“Terimakasih ya nak, kalian memang anak yang baik mau menolong rakyat kecil seperti kami. Saya beserta beberapa warga di sini tidak tahu lagi harus melakukan apa jika tidak ada kalian.” Ucap Melisa kembali berkaca-kaca. Mendengar itu Haura tersenyum, ia sudah mengerahkan seluruh tenaga dan pikirannya untuk meraih kembali hak para warga, kini ia hanya bisa berserah pada Tuhan tentang apa hasil akhirnya, semoga saja dewi fortuna berpihak padanya.

 

“Tidak masalah ibu, kita senang jika bisa membantu dan menjadi manfaat untuk mereka yang mengalami kesulitan.” Ucap Haura tersenyum. Ia kembali tersenyum pada anak bungsu bu Melisa yang berusia 8 tahun itu.

 

“Kamu harus jadi anak yang membanggakan ibu sama bapak ya dek.” Kekehnya tertawa.

 

Sejak dahulu, Haura gemar membantu dan menolong, sikapnya yang rendah hati dan berjiwa sosial tinggi banyak disukai oleh beberapa pihak, menjadikan perempuan yang cerdas dan memiliki cita-cita setinggi langit. Tak peduli, sebanyak apapun mereka berucap tentang keburukannya atau kekurangannya, karena inilah sebuah proses, proses dimana anak muda menjadi generasi yang memiliki nilai tinggi di mata masyarakat.

 

Haura pun masih belajar, karena terlalu banyak yang terjadi dalam hidupnya, semuanya ia jadikan pelajaran, bahwa setiap perbedaan itu ada untuk dihargai, tak peduli seberapa tinggi profesimu, seberapa banyak uangmu tak menjadikanmu menjadi paling terbaik.

 

Jadikan perbedaan sebagai sebuah keunikan dalam berbangsa dan bernegara agar terlihat indah dengan banyaknya warna, dan janganlah menjadikan sebuah perbedaan sebagai kesombongan akan rasa paling benar dalam berfikir dan bertindak, karena perbedaan yang mengakibatkan perpecahan yang membuat bangsa dan negara melemah. MERDEKAAAA!!

 

***

 

“Saya selaku pemimpin perusahaan meminta maaf kepada pihak yang merasa dirugikan dari adanya penggusuran secara paksa ini.”

 

Ucapan itu bagaikan melodi yang sangat indah untuk didengar, sebagai pertanda bahwa Haura telah berhasil mempertahankan hak dan memperjuangkan keadilan. Hanya beberapa serpihan yang telah ia lakukan, namun senang rasanya melihat mereka yang beberapa minggu terlihat murung dan ketakutan itu akhirnya bisa kembali tersenyum dan tertawa seperti sedia kala.

 

“Terimakasih ya nak Haura, nak Rakala dan nak Hema yang mau membantu kami, saya beserta yang lain sangat berterimakasih.” Ucap pak Arwan yang kini sudah kembali akan menumpahkan tangisnya, tangis kebahagiaan.

 

Haura, Rakala dan Hema tersenyum. “Senang mendengarnya pak, semoga warga di sini selalu akur, damai tak peduli banyaknya perbedaan.” Jawab Hema tersenyum sambil menyambut uluran tangan pak Arwan.

 

Arwan mengangguk, “Saya juga berharap seperti itu. Kalian penerus generasi bangsa ini jangan lelah untuk terus belajar dan memulai hal baru ya, semangat yang tinggi dan memiliki wawasan yang lebih luas untuk mengembangakan dan memajukan Negara.” Ucap Arwan.

 

“Terima kasih pak, terima  kasih semuanya atas kerja samanya.” Ucap Haura. Perjalanannya masih panjang, banyak mimpi yang belum bisa ia raih dan ia akan terus selalu berusaha, semoga Tuhan merestuinya.

 

SELESAI

 

 

Nama : Naysilla Dwinov

Asal Sekolah : SMAN 1 Cibeber

Nomor WA : 081318040567

TTL : Cilegon, 17 November 2005

Alamat : Jl. Bayah RT/RW 002/008 Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.

 

Andi Nurdiansah
Andi Nurdiansah Pendidik di SMAN 1 Cibeber

Post a Comment for "Cerpen Tema Generasi Muda "